ADAB-ADAB PERGAULAN BERSAMA SESAMA SAUDARA MUSLIM
Allah ta’ala berfirman :
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” ( Az-Zukhruf : 67 )
Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“seseorang itu sesuai agama teman dekatnya, maka hendaknya dia melihat
kepada siapakah dia berteman dekat”[1].
Di antara adab-adab pergaulan bersama sesama saudara Muslim :
1. Memilih Teman Bergaul Dan Teman Duduk :
Telah
dikemukakan sebelumnya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara
mar’fu’ : “Seseorang itu sesuai agama teman dekatnya maka hendaknya
salah seorang dari kalian melihat bersama siapakah dia berteman”
Maknanya
: Bahwa seseorang itu sesuai kebiasaan temannya tingkah laku dan gaya
hidupnya, maka hendaknya dia memperhatikan dan meneliti “Bersama
siapakah dia berteman”. Barang siapa diridhai agama dan akhlaknya maka
hendaknya dia berteman dengannya dan kalau tidak hendaknya dia
menjauhinya, karena tabiat itu adalah sesuatu yang dicuri/diambil dari
orang lain, sebagaimana disebutkan didalam kitab ‘Aun Al-Ma’bud[2].
Abu
Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian berteman kecuali bersama
orang yang beriman, dan janganlah ada yang makan makananmu kecuali orang
yang bertakwa”[3].
Larangan bersahabat mencakup larangan bersahabat dengan pelaku dosa
besar dan orang suka berbuat dosa, karena mereka melakukan apa yang
Allah haramkan. Berteman dengan mereka akan mendatangkan kemudharaan
pada agama, dan lebih utama lagi larangan tersebut mencakup larangan
bersahabat dengan orang-orang kafir dan munafiq.
Sabda Nabi : “Dan janganlah seseorang memakan makananmu kecuali seorang yang bertakwa”.
Al-Khaththabi
berkata : “Larangan ini berlaku pada makanan undangan bukan makanan
hajat/kebutuhan, yang demikian itu karena Allah subhanahu berfirman :
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.( Al-Insan : 8 )
Telah
maklum adanya bahwa tawanan-tawanan mereka ada yang kafir yang tidak
beriman dan tidak bertakwa. Berarti Nabi memberikan peringatan dari
berteman bersama orang yang tidak bertakwa dan melarang bercampur baur
dan memberi makanan kepadanya. Karena memberi makanan akan menyebabkan
adanya kelembutan dan kasih sayang di dalam hati[4].
Dan
teman dekat dan teman duduk yang jelek akhlaknya memberikan bahaya yang
nyata dan tidak diapat dihindari bagaimana pun cara menjaganya,
berdasarkan nash dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Musa
Al-Asyari radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Pemisalan teman duduk yang shalih dan yang
jelek akhlaknya bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi, penjual
minyak wangi dia dapat memberimu minyak wangi atau kamu membeli darinya
minyak wangi atau kamu mendapatkan bau yang wangi, adapun pandai besi,
dia dapat membakar pakaianmu atau kamu mendapat bau yang tidak sedap
darinya”[5].
2. Mencintai Karena Allah :
Kedudukan
Persaudaraan yang paling agung adalah ketika hal itu karena Allah dan
untuk Allah, tidak untuk mendapatkan kedudukan, atau mendapatkan manfaat
yang segera atau yang akan datang, tidak karena mendapatkan materi,
atau selainnya. Dan barang siapa kecintaannya kepada temannya karena
Allah dan persaudaraannya karena Allah sungguh dia telah mencapai puncak
tujuan, dan agar seseorang itu berhati-hati jangan sampai kecintaannya
tersebut terselip kepentingan-kepentingan duniawi yang akan mengotori
dan menyebabkan kerusakan persaudaraan.
Dan
barang siapa kecintaannya karena Allah maka hendaknya dia bergembira
dengan janji Allah dan keselamatan dari kedahsyaran hari dimana seluruh
makhluk dikumpulkan pada hari kiamat. Dan dia akan dimasukkan dibawah
naungan Arsy Dzat yang Maha perkasa Jalla Jalaluhu. Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman
pada hari kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena
keagungan-Ku, pada hari ini Aku akan menaungi mereka di dalam naunganku
di hari tidak ada naungan selain naungan-Ku”[6].
Dari
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Allah tabaraka wa ta’ala
berfirman: Kecintaanku suatu yang harus bagi orang-orang yang saling
mencintai karena-Ku, yang duduk-duduk bersama karenaku, yang saling
menziarahi karena-Ku, saling memberi karena-Ku”[7].
Dan
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Bahwa seseorang menziarahi saudaranya karena Allah di desa
lain maka Allah mengirimkan kepadanya malaikat di tengah-tengah
perjalanannya. Ketika malaikat tersebut datang kepadanya dia berkata :
Kemana kamu hendak pergi?
Orang
itu berkata : Saya ingin pergi ke rumah saudaraku di desa ini. Malaikat
itu berkata : Apakah kamu mempunyai nikmat atas saudaramu itu yang kamu
jaga[8]?
Orang
itu berkata : Tidak, hanya saja saya mencintainya karena Allah Azza wa
Jalla. Malaikat itu berkata : Sesungguhnya saya adalah utusan Allah
kepadamu bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya
karenanya”[9].
Catatan penting 1 :
Sepatutnya bagi orang yang mencintai saudaranya karena Allah agar
memberitahukannya tentang hal tersebut, dan di dalam hal ini ditunjukkan
didalam sunnah yang telah maklum. Anas bin Malik dan selainnya
meriwayatkan, beliau berkata : “Bahwa ada seseorang yang berada di sisi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seorang laki-laki lain
melewatinya. Laki-laki itu berkata wahai Rasulullah : Sesungguhnya saya
mencintai laki-laki ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?”
Orang
itu berkata : tidak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Beritahukanlah kepadanya!” Maka orang itu pun menyusulnya dan berkata :
Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah. Laki-laki tadi berkata :
Semoga Allah mencintaimu yang karena-Nya engkau mencintaiku karenanya”.
Pada riwayat Ahmad : “Nabi berkata : “Berdirilah dan kabarkanlah
kepadanya maka hal itu akan mengokohkan kecintaan diantara kalian”.
Laki-laki
yang bersama Nabi pun bangun dan menjumpainya kemudian mengabarkan
kepadanya, dia berkata : “Sesungguhnya saya mencintaimu karena Allah
atau dia berkata saya mencintaimu untuk lillah.
Laki-laki yang lewat itu berkata : “Semoga Allah mencintaimu yang mana engkau mencintaiku karenanya”[10].
Catatan penting lainnya : dari
hal-hal yang sepatutnya –juga- ada bagi orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, agar mereka mengecek diri-diri mereka dan
hati-hati mereka waktu demi waktu, dan agar mereka lihat apakah
kecintaan ini telah tercampur apa-apa yang menghalangi dan menyusahkan
dan mengeluarkan kecintaannya dari hakikatnya atau tidak. Karena
kecintaan pada awalnya mungkin ikhlash karena Allah, akan tetapi hal itu
tidak tinggal lama –apabila orang yang melakukannya lalai- dan
berpindah kepada persaudaraan yang mengharapkan saling bergantian
memberikan manfaat.
Terkadang
kecintaan kepada Allah berubah bersamaan kontinyuitas persahabatan dan
kecintaan dan kerinduan yang melampaui batas. Bercampur baurnya bersama
anak-anak remaja atasanama persaudaraan karena Allah, dan sebagian
wanita melewati batas yang disyariatkan bersama anak-anak perempuan
sejenisnya yang terkadang mengantarkan kepada hal yang semisal itu.
3. Menampakkan Senyum, Bersikap Lembut dan Kasih Sayang Kepada Sesama Saudara Seiman
Hal yang paling sedikitnya apabila seorang menjumpai saudara lainnya adalah menjumpainya dengnawajah
yang berseri-seri, mulut yang penuh senyum. Hal ini bagian dari perkara
ma’ruf dan adab yang sepatutnya ditampakkan diantara seorang saudara
dengan saudaranya yang lain, agar dia ramah dan senyum di wajahnya
setiap kali dia bertemu atau melihat saudaranya yang lain.
Abu
Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepadaku : “Janganlah seseorang itu meremehkan perbuatan
ma’ruf sedikitpun, walaupun dia menjumpai saudaranya dengan wajah yang
berseri-seri”[11].
Pada
hadits riwayat Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “Setiap
perbuatan ma’ruf adalah sedekah, dan sesungguhnya termasuk perbuatan
ma’ruf adalah seseorang menjumpai saudaranya dengan wajah
berseri-seri…..al-hadits”[12].
Sikap
lemah lembut dan ramah dan kasih sayang diantara hal-hal yang
menguatkan ikatan diantara saudara, dan memperdalam hubungan diantara
mereka. Dimana “Allah mencintai lemah lembut di dalam segala urusan”[13].
Dan Allah subhanahu: “Maha lembut mencintai kelembutan dan memberikan
kepada orang yang lembut apa yang tidak dia berikan kepada orang yang
kasar dan apa yang tidak dia berikan kepada selain orang yang lembut”[14].
Dan
selama hal itu demikan adanya, maka saudara-saudara seiman lebih pantas
dan lebih utama agar sebagian mereka berprilaku lemah lembut kepada
sebagian lainnya, dan agar sebagian mereka ramah kepada sebagian
lainnya.
Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Diharamkan atas neraka setiap
orang yang lemah lembut, mudah dan dekat dari manusia”[15]. Dan diantara perkara-perkara yang dapat membantu kelanggengan rasa cinta, dan menghilangkan kebencian dari dalam hati, saling memberi hadiah sesama saudara.
Imam
Malik telah meriwayatkan di dalam Muwathta’nya : bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saling berjabatan tanganlah
kalian karena hal itu akan menghilangkan rasa dengki, saling memberi
hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai dan menghilangkan
kebencian”[16].
Alangkah indah syair yang diucapkan seseorang:
Hadiah manusia sebagian mereka kepada sebagian lainnya
Akan melahirkan di hati-hati mereka hubungan
Dan menumbuhkan di dalam sanubari rasa suka dan cinta
Dan akan memakaikan kecantikan apabila mereka bersua
4. Disunnahkan Memberi Nasihat Dan Hal Itu Termasuk Kesempurnaan Persaudaraan :
Nasihat adalah tuntutan syar’i yang dianjurkan oleh pembuat syariat. Dan merupakan bagian dari perkara-perkara yang menjadi sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya.
Jarir
bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata “Saya membai’at Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menegakkan shalat, menunaikan zakat,
memberi nasihat kepada setiap muslim”[17].
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan tuntunan ini bersamaan
dengan shalat dan zakat yang mana keduanya bagian dari rukun islam, yang
menunjukkan kepada kita akan besarnya kedudukan tuntunan saling
menasihati tersebut dan nilainya yang luhur.
Semisal
disebutkan didalam hadits Tamim bin Aus Ad-Dari radhiallahu ‘anhu bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Agama itu nasehat “.
Kami
berkata : Kepada siapakah wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam? Beliau bersabda : Kepada Allah, kepada kitabnya, kepada
rasulnya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin”[18].
Dan
sabda beliau : “agama itu nasehat” yaitu : Bahwa nasehat adalah amalan
yang paling utama dan yang paling sempurna dalam agama[19].
Ibnul
Jauzi berkata : “Ketahuilah bahwa nasehat untuk Allah Azza wa Jalla
adalah membela agamanya dan menghalau segala bentuk kesyirikan kepada
Allah walaupun Allah tidak membutuhkan hal tersebut, akan tetapi
manfaatnya kembali kepada hamba.
Demikian
pula nasihat untuk kitabnya: Membelanya dan senantiasa menjaga tilawah
kitab-Nya. Dan nasehat untuk Rasulnya : Melaksanakan sunnahnya dan
mengajak kepada dakwah beliau.
Dan
nasehat untuk imam-imam kaum muslimin : Mentaati mereka, jihad bersama
mereka, menjaga bai’at mereka, memberi nasehat kepada mereka tanpa
adanya pujian-pujian yang membuat mereka terpedaya.
Dan
nasehat untuk seluruh kaum muslimin : Keinginan memberikan kebaikan
kepada mereka, termasuk dalam hal ini mengajarkan dan memperkenalkan
kepada mereka perkara yang wajib, dan menunjukkan mereka kepada al-haq[20].
Berdasarkan
ini maka nasehat untuk para suadara kita, dengan tujuan melapangkan
kebaikan kepada mereka, menjelaskan al-haq kepada mereka, mengarahkan
mereka kepada kebaikan, tidak menipu mereka dan bermuka manis kepada
mereka dalam masalah agama Allah.
Termasuk
pula memerintahkan mereka kepada perkara yang ma’ruf dan melarang
mereka dari kemungkaran, walaupun hal itu menyelisihi hawa nafsu mereka
dan kebiasaan mereka. Sedangkan menyertai mereka dalam kebiasaan mereka,
bermuka manis bersama mereka didalam agama Allah mengatas namakan
persaudaraan, dengan tujuan agar mereka tidak lari, maka ini bukan
bagian dari nasihat yang diperintahkan oleh Nabi kita. Memang benar
adanya, hikmah dituntut ketika memberi nasehat kepada mereka, akan
tetapi al-haq harus dijelaskan dan diajarkan lebih khusus lagi apabila
diantara sesama saudara dan dia mampu untuk itu.
5. Saling Tolong Menolong Sesama Ikhwan :
Kita memiliki teladan dan contoh dalam hal tersebut. Teladan yang
paling besar tentang hal tersebut dari –Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Tidaklah sisi kerasulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghalangi beliau untuk bersama-sama para sahabatnya dan memberi
bantuan kepada mereka. Diantara hal tersebut keikut sertaan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sahabatnya ketika membangun masjid
Nabawi di Madinah.
Anas radhiallahu ‘anhu berkata : Mereka memindahkan batu-batuan sambil mendendangkan Ar-Rajaz (salah satu macam alunan –bahru– puisi, pent) dan Nabi bersama mereka dan beliau berkata :
Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat
Maka ampunilah kaum anshar dan kaum muhajirin[21]
Dan yang semisal kejadian tersebut, yang terjadi pada peritiwa Khandak.
Jabir
radhiallahu ‘anhu berkata : Sesungguhnya kami ketika peristiwa Khandak
dalam keadaan menggali, tiba-taba gundukan tanah yang keras menghalangi
mereka. Mereka pun datang menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mengatakan : Tanah keras ini menghalangi pembuatan Khandak. Maka
beliau berkata : “Saya yang turun” .
Kemudian
Jabir berkata : Dan perut beliau dililit dengan batu, dan kami tinggal
selama tiga hari tidak merasakan makanan, maka Nabi mengambil martil dan
memukulkannya sampai batu itu kembali menjadi bukit pasir yang
bertaburan….al-hadits[22].
Dan
dari hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan
olehAbu Musa radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Seorang mukmin kepada mukmin lainnya bagaikan satu bangunan
sebagiannya menguatkan bagian yang lain dan beliau menyela-nyela antara
jari-jari beliau”[23].
Al-Ikhwan
sebagian mereka membutuhkan sebagian lainnya, mereka saling memberi
bantuan diantara mereka di dalam menutupi kekurangan kefakiran mereka,
atau memberi rekomendasi yang baik di dalam menunaikan hajat kebutuhan
mereka, atau selain hal itu dari berbagai bentuk gambaran bantuan,
“Allah berada dalam bantuan kepada seorang hamba selama seorang hamba
berada dalam bantuan saudaranya”[24].
6. Sesama Saudara semestinya saling Merendahkan diri diantara mereka dan tidak sombong atau meremehkan yang Lain
Saling
merendahkan diri dan lemah lembut kepada sesama saudara dapat
mengekalkan persaudaraan ditengah-tengah mereka, dan memperkuat ikatan
persaudaraan diantara mereka. Sedangkan takabbur dan sombong atau
meremehkan orang lain adalah sebab sebagian diantara mereka akan
menjauhi sebagian lainnya. Dan merupakan alamat putusnya tali
persaudaraan diantara mereka.
Merendahkan
diri itu sifat yang dituntut dan juga diperintahkan. Sedangkan sifat
angkuh adalah sifat yang terlarang dan tercela.
‘Iyadh
bin Himar radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar
kalian merendahkan diri sampai tidak ada seorang pun meremehkan orang
lain dan seseorang merebut jualan orang lain”[25].
Sedangkan sifat meremehkan orang lain dan sombong adalah jalan menuju kezhaliman, permusuhan dan kejahatan.
Dan
tidak diragukan lagi bahwa manusia bertingkat-tingkat keutamaannya di
dalam masalah penghasilan, nasab dan harta. Ini sudah merupakan
sunnatullah pada makhluk. Bukanlah orang yang mulia yang menjadikan
dirinya mulia, dan bukanlah orang yang rendah dia yang menjadikan
dirinya rendah, demikian halnya bagi seorang yang fakir dan seorang yang
kaya raya. Melainkan hikmah Allah yang sempurna menetapkan hal tersebut
– Dan Allahlah yang menetapkan segala urusan makhluknya.
Dan
bukan karena bertingkat-tingkatnya kedudukan martabat manusia sehingga
seseorang diperbolehkan menganggap dirinya lebih tinggi dari pada
selainnya atau meremehkannya. Bahkan kapan saja orang yang mulia atau
orang yang mempunyai kedudukan atau orang yang kaya merendahkan diri
kepada Allah, lembut dan ramah bersama saudaranya yang lain, perbuatan
yang demikian akan menambah tinggi derajatnya di sisi Allah dan diterima
di sisi makhluk.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah seseorang
merendahkan diri dihadapan Allah kecuali Allah akan mengangkat
derajatnya”[26].
7. Berakhlak yang Terpuji :
Beruntung
orang yang Allah pakaikan pakaian akhlak yang terpuji. Karena tidak
seorang pun yang diberikan akhlak tersebut kecuali orang-orang akan
menyebut dirinya dengan kebaikan, dan derajatnya akan terangkat
ditengah-tengah mereka. Akhlak yang terpuji diantaranya dengan wajah
yang berseri-seri, bersabar ketika mendapatkan gangguan, menahan marah,
dan selainnya daripada kepribadian dan perangai yang terpuji.
Ibnu
Manshur berkata : Saya bertanya kepada Abu Abdillah : Tentang akhlak
yang baik. Berkata berkata : Agar kamu tidak marahdan tidak kasar.
Ishaq
bin Rahawaih berkata : “ Akhlak yang terpuji adalah wajah yang
berseri-seri dan tidak mudah marah dan yang semisalnya. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Al-Khallal.
Al-Khallal
meriwayatkan dari Sallam bin Muthi’ di dalam menafsirkan makna akhlak
yang terpuji, sambil menendangkan bait sya’ir :
Apabila engkau tidak mengunjunginya , engkau melihatnya sambil memuji
Seakan-akan engkau lah yang memberikan baginya sesuatu yang engkau pinta[27]
Dan
sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya berdasarkan sabda
makhluk yang terbaik Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan dialah manusia
yang paling terpuji akhlaknya- “Sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik akhlaknya”[28].
Dan
diantara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika istiftah “Dan
tunjukanlah kepadaku akhlak yang baik yang tidak ada yang dapat
menunjukkan kepada akhlak yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah
dariku akhlak yang jelek tidak ada yang memalingkan aku dari akhlak yang
jelek kecuali Engkau”[29].
Barang
siapa sifatnya seperti ini, niscaya manusia akan mencintainya, mereka
selalu ingin berada di majlisnya dan duduk-duduk bersamanya, dan
mendengarkan pembicaraannya. Sebaliknya bagi orang yang jelek akhlaknya,
maka ucapannya itu membosankan, manusia lari dari majlisnya, dan dia
adalah orang yang dimurkai dan hati akan berat menerimanya. Diceritakan
dari Fudhail bin ‘Iyadh, beliau berkata : “ Barang siapa jelek akhlaknya
akan jelek pula agama, kedudukan dan kecintaan orang kepadanya “[30].
Dalam
pergaulan sesama saudara muslim, akhlak yang terpuji menempati bagian
yang besar pada interaksi itu. Dengan akhlak yang baik, niscaya akan
memperpanjang hubungan, melembutkan hati, mencabut rasa dendam dari
dalam dada, maka pantas bagi sesama saudara untuk
menampakkan kecerahan pada wajah-wajah mereka kepada saudara mereka
lainnya. Mengucapkan ucapan yang baik kepada mereka, dan menutup mata
dari kehinaan dan kesalahan mereka dan mencarikan udzur bagi mereka[31].
8. Hati Yang Selamat
Diantara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Lepaskanlah kedengkian[32] di dalam hatiku” dan dalam riwayat At-Tirmidzi “Dan lepaskanlah kedengkian di dalam dadaku”[33]. Kepribadian dan perilaku yang sangat luhur kedudukannya ini, ternyata sedikit
orang berhias dengannya. Disebabkan jiwa manusia akan sangat sulit
untuk lepas dari segala jeratannya, dan untuk mengalah dari hak-haknya
bagi selainnya. Bersamaan itu pula, banyak manusia terjatuh perbuatan
aniaya dan kezhaliman. Apabila seseorang menjumpai kezhaliman manusia,
kejahilan dan kesewenang-wenangan mereka dengan hati yang selamat, dan
tidak menghadapi kejahatan mereka dengan perbuatan kejahatan semisalnya,
dan tidak dengki kepada mereka, niscaya dia akan mendapatkan kedudukan
yang tinggi berupa akhlak yang tinggi dan perangai yang luhur.
Hal mulia ini jarang dan sedikit sekal dijumpai pada
manusia, akan tetapi hal itu mudah bagi orang yang Allah mudahkan. Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang beriman adalah
seorang yang baik dan berperangai terpuji. Sedangkan orang yang fajir
adalah orang yang jelek dan jahat perangainya”[34]. Sabda Nabi : “Orang yang beriman adalah seorang yang baik dan
berperangai terpuji “, Al-Mubarakfuri mengatkaan: “ Di dalam An-Nihayah
: Yaitu bukan orang yang slalu membuat makar, dan dia tunduk karena
ketaatan dan kelembutannya, dan lawan kata dari al-khabbu – jahat/pembuat makar -. Maksudnya bahwa orang yang beriman yang terpuji diantara tabiatnya adalah al-ghararah
(yang baik hati), tidak berlaku culas demi perbuatan jelek dan menolak
untuk mencari-cari kejelekan. Bukan dikarenakan Kebodohan pada dirinya,
akan tetapi karena sifat mulia dan akhlaknya yang terpuji. Demikian yang
dijelaskan dalam kitab Al-Mirqah.
Al-Manawi berkata : “Berbaik hati kepada setiap orang dan
dan setiap orang merasa cemburu padanya. Dia tidak mengenal kejelekan
dan bukan orang yang senang membuat makar. Dia rendah hati karena
hatinya yang selamat dan prasangkanya yang selalu baik. Sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Yang fajir adalah yang jelek dan jahat
sifatnya”, yaitu seorang bakhil yang keras kepala dan buruk akhlaknya[35].
9. Berbaik Sangka Kepada Ikhwan Dan Tidak Memata-Matai Mereka :
Dan
diantara bentuk pergaulan yang baik sesama saudara adalah berbaik
sangka kepada mereka. Memahami perkataan mereka dan segala perbuatan
mereka kepada kemungkinan yang paling baik. Kita telah
dilarang berburuk sangka karena hal tersebut termasuk perkataan yang
paling dusta, sebagaimana disebutkan pada sebuah hadits bahwa Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Janganlah kalian berprasangka karena prasangka itu perkataan yang paling dusta, dan janganlah kalian mencari-cari berita dan memata-matai[36]….al-hadits”[37].
Maksud
larangan prasangka disini adalah larangan terhadap prasangka buruk.
Al-Khaththabi berkata : “Yaitu menerima dan membenarkan setiap
persangkaan tanpa ada kekhawatiran di dalam hati, maka sesungguhnya hal itu tidak terkendali.
Dan
maksud pernyataan Al-Khaththabi bahwa prasangakn yang haram adalah
prasangka yang seseorang tenggelam terus menerus melakukannya, dan
menetap di hatinya. Bukannya prasangka terlintas didalam hati dan tidak
menetap. Sesungguhnya prasangka seperti ini tidak akan dibebankan kepada
dirinya, sebagaimana di dalam sebuah hadits: “ Sesungguhnya Allah
mengampuni apa yang seorang budak perempuan ucapkan dalam hati selama
dia tidak mengatakannya dengan lisan atau tidak sengaja”
Penafsirannya
telah telah dikemukakan pada pembahasan mengenai segala prasangka yang
terbersit didalam hati namun tidak tinggal lama. Demikian yang
disebutkan oleh An-Nawawi
Al-Qurthubi
berkata : “Maksud prasangka disini adalah tuduhan yang tidak ada
sebabnya sebagaimana orang yang menuduh orang lain dengan perbuatan keji
tanpa adanya alasan yang jelas terhadap tuduhan tersebut. Oleh karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan dengan dengan sabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau: “Dan janganlah kalian memata-matai” . Demikian itu karena terlintas dalam benak seseorang suatu tuduhan, lalu menginginkan
untuk memastikannya, memata-matai dan mencari berita dan mencuri
pendengaran. Maka hal tersebut dilarang, dan hadits ini sesuai dengan
firman Allah ta’ala :
“
Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain.” ( Al-Hujurat : 12 )
Konteks
ayat menunjukkan perintah menjaga harga diri seorang muslim dengan
sebenar-benarnya penjagaan. Karena penempatan larangan yang didahulukan
daripada tenggelam dalam sebuah prasangka. Apabila orang
yang berprasangka berkata : Saya akan membahasnya agar saya mengetahui
fakta yang sebenarnya, dikatakan kepadanya : “janganlah kamu memata-matai” maka apabila terjadi tanpa memata-matai, maka akan dikatakan kepadanya :
Faedah : Termasuk berbaik sangka kepada saudara; agar membawakan perkataan mereka kepada persepsi yang baik. Apabila
ada sesuatu sampai kepada anda yang anda membencinya,upayakanlah udzur
baginya dan katakanlah : Mungkin dia menginginkan demikian, mungkin dia
menginginkan itu, sehingga anda tidak mendapatkan jalan keluar lagi baginya.
10. Memaafkan Kesalahan Dan Menahan Marah :
Ketika
bercampur dan bergaul bersama manusia –mau tidak mau- ada padanya
sesuatu kekurangan dan perlakuan yang melampui batas dari sebagian
mereka kepada sebagian lainya apakah itu dengan perkatan maupun
perbuatan, maka disunnahkan bagi orang yang terzhalimi agar menahan
marah dan memaafkan orang yang menyzhaliminya, Allah ta’ala berfirman :
“
Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-
perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. ( Asy-Syura : 37 )
Dan Allah ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Ali Imran : 134 )
Dan tentang fiman Allah : “Dan orang-orang yang menahan amarahnya”
yaitu : Apabila mereka mendapatkan gangguan dari orang lain sehingga
menyebabkan kemarahan mereka dan hati mereka telah penuh dengan
kekesalan, yang mengharuskan membalasnya dengan perkataan dan perbuatan,
mereka tidak mengamalkan kosukuensi tabiat manusia tersebut.
Bahkan
mereka menahan amarah yang ada pada mereka lalu bersabar tidak membalas
orang yang berbuat jahat kepadanya. Dan firman Allah : “Dan orang-orang yang memaafkan orang lain“,
masuk di dalam perkara memaafkan manusia, yaitu memaafkan dari setiap
orang yang berbuat jahat kepadanya dengan perkataan atau perbuatan.
Memaafkan lebih sempurna daripada menahan marah, karena memaafkan itu
meninggalkan pembalasan bersamaan dengan adanya kerelaan terhadap orang
yang berbuat jahat. Sifat ini hanya ada pada seseorang yang berhias
dengan akhlak yang terpuji. Berlepas dari akhlak yang rendah, tergolong diantara orang-orang
yang berdagang dengan Allah, memaafkan hamba-hamba Allah, sebagai
bentuk kasih sayang dan berbuat baik kepada mereka, dan membenci jikalau
keburukan menimpa mereka, dan agar Allah memaafkannya, dengan
mengharapkan pahalanya ada pada rabbnya yang maha mulia, bukan pada
hamba yang fakir, sebagaimana Allah ta’ala berfirman :
“Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik. Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.. ( Asy-Syura : 40 ) [39]
Dan
menahan amarah bersamaan adanya kemampuan melampiaskannya dijanjikan
balasan yang banyak sesuai yang disampaikan melalui lisan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mu’adz bin Anas Al-Juhani meriwayatkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa
yang menahan marah dan dia mampu melampiaskannya niscaya Allah akan
memanggilnya dihadapan seluruh makhluk sehingga Allah memberi pilihan
kepadanya bidadari mana yang dia kehendaki”[40]
Memaafkan
kesalahan, keteledoran dan perbuatan aniaya bukanlah kelemahan dan
bukan pula kekurangan, bahkan hal itu adalah perbuatan yang tinggi
nilainya bagi orang yang melakukannya dan merupakan perbuatan mulia, Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Shadaqah tidaklah mengurangi harta, dan
tidaklah Allah menambahkan kepada seorang yang memberi ma’af kecuali
kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali
Allah akan tinggikan derajatnya” dan pada lafazh riwayat Ahmad :
“Tidaklah seseorang memberi maaf dari perbuatan aniaya kecuali Allah
tambahkan bagi kemuliaan”[41].
Dan
orang-orang yang saling bersaudara karena Allah sangat pantas bagi
mereka agar saling memberi maaf atas kesalahan sebagian mereka, dan
orang yang berbuat baik dari mereka memberi maaf kepada mereka yang
melakukan kesalahan. Karena apabila mereka menyempurnakan hal itu, niscaya hati-hati mereka selamat dan menjadi suci, dan mereka hidup di dalam keadaan yang lebih baik.
Faedah : Diantara
bentuk memberi maaf adalah menerima udzur/alasan orang yang berbuat
kesalahan, dan tentang hal ini ada beberapa ucapan yang mengagumkan
maknanya :
Al-Hasan
bin Ali radhiallahu ‘anhuma berkata : “Kalaulah ada seseorang
memaki-maki saya di telinga saya ini, dan meminta udzur di telinga yang
lain, sungguh saya akan menerima udzurnya.”
Dan diantara bait syair yang semakna dengan hal tersebut :
Dikatakan kepadaku : fulan telah berbuat salah kepadamu
Dan seorang pemuda duduk berdian diri dari aniaya adalah cela.
Saya katakan : Sungguh dia telah datang kepadaku dan
menyampaikan udzur
Tebusan dosa menurut kami adalah menerima udzur seseorang.
Al-Ahnaf berkata : “ Apabila seseorang meminta udzur kepadamu maka hendaknya kamu menemuinya dengan suka cita “[42].
11. Larangan Saling Hasad dan Saling Membenci Dan Memboikot :
Hal
ini dijelaskan didalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah kalian
saling membenci dan saling hasad, saling memboikot[43] dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya yang lain diatas tiga hari”[44].
Hasad
itu ada dua macam terpuji dan tercela. Hasad yang tercela adalah
menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain, dan hal ini
adalah perbuatan zhalim, aniaya dan permusuhan. Hasad dan yang terpuji
adalah Al-Ghibthah yaitu menginginkan nikmat yang serupa yang ada pada orang lain tanpa adanya keinginan hilang nikmat tersebut padanya.
Inilah
yang dimaksudkan di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Tidak ada hasad kecuali pada dua perkara : seseorang yang Allah berikan
kepadanya Al-Qur`an dan dia mengamalkannya sepanjang malam, dan
seseorang yang Allah berikan kepadanya harta dan dia bersedekah
dengannya sepanjang hari dan sepanjang malam”[45].
Saling membenci adalah lawan dari saling mencintai, dan makna At-Tadabur adalah memboikot.
Makna
hadits : Agar salah seorang dari kalian jangan menginginkan hilangnya
nikmat yang Allah berikan kepadanya karena hal itu adalah perbuatan
zhalim dan permusuhan. Dan jangan pula salah seorang dari kalian
membenci saudaranya yang lain, akan tetapi saling mencintailah kalian.
Dan jangan kalian memboikot saudaranya yang lain lebih dari tiga hari,
karena memboikot adalah perbuatan yang haram antara kaum muslimin. Sabda
Nabi : “Dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara” yaitu
berinteraksi dan bergaulah dengan interaksi dan mempergauli mereka
layaknya saudara, mempergauli mereka dengan kecintaan, kelemah lembutan,
saling tolong menolong dalam kebaikan, dan yang semisalnya dari hal-hal
yang menjernihkan hati, dan menasehati pada setiap keadaan. Demikian
yang diternagkan oleh An-Nawawi[46].
Catatan penting
: Memboikot terkadang karena membela hak Allah yaitu untuk tujuan
memberi pelajaran, dan terkadang untuk membela diri, maka selama
tujuannya karena membela diri maka tidak diberikan keringanan melebihi
tiga malam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
: “Pintu-pintu surga dibuka di hari senin dan hari kamis, setiap hamba
yang tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun diampuni, kecuali
seseorang yang ada diantara dirinya dan saudaranya kebencian,
tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tangguhkanlah
kedua orang ini sampai keduanya berdamai”, pada lafazh riwayat
At-Tirmidzi : “Kecuali orang-orang yang saling memboikot, maka dikatakan
kembalikan kedua orang ini sampai keduanya berdamai”[47].
Dan
selama boikot itu karena membela hak Allah, seperti memboikot orang
yang melakukan kemungkaran sampai dia bertaubat dari kemungkarannya,
sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot tiga sahabat
yang tidak ikut dalam peperangan sampai Allah menurunkan ayat tentang
taubatnya mereka, hal ini tidak ada batasan waktunya, bahkan kapan saja
seseorang mendapatkan maksud dari boikot tersebut maka boikot terputus
dan diharamkan[48].
Faedah : Syaikh
Al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : Dan boikot ini [memboikot
untuk tujuan memberi pelajaran] berbeda-beda penerapannya sesuai
keadaan orang yang melakukan boikot, mempertimbangkan kemampuan meeka,
kelemahan, sedikit dan banyaknya mereka. Karena maksud dari suatu
pemboikotan adalah memperingatkan orang yang diboikot dan memberinya
pelajaran serta agar orang-orang awam meninggalkan keadaan yang
dilakukanya. Apabila mashlahat pada boikot tersebut lebih dominan, yang
mana pemboikotannya tersebut dapat mengurangi dan mengantisipasi kejahatan,
maka hal itu disyariatkan. Namun apabila yang diboikot dan yang
selainnya tidak terperngaruh dengan hal tersebut bahkan bertambah jelek
keadaannya, dan orang yang memboikot lemah, yang mana mafsadat lebih
dominan daripada mashlahat, maka boikot tidak disyariatkan.
Dengan
demikian berlaku lemah lembut kepada sebagian orang itu lebih
bermanfaat daripada memboikot. Dan pemboikotan terhadap sebagian orang
lebih bermanfaat daripada bersikap lembut kepada mereka. Oleh karena itu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lembut kepada satu kaum dan
memboikot kaum lainnya[49].
Faedah Lainnya : Syariat
memberi keringanan di dalam memboikot seorang muslim selama tiga hari,
apabila tujuannya membela diri, dan tidak membolehkan lebih dari hal
tersebut, dan hikmah di dalam hal tersebut bahwa jiwa manusia dapat
meresapi sisi-sisi dan kejadian-kejadian yang membuat saling marah,
diringankan pula kepada siapa yang mendapati pada diri saudaranya yang
telah dia diamkan selama tiga malam karena hal itu cukup untuk
mengalahkan kerasnya kemarahan dan menghilangkan rasa dendam atas
saudaranya.
Misalnya,
apa yang menimpa pada diri orang yang bukan suaminya, diringankan
baginya untuk tidak berhias selama tiga hari dan tidak boleh melebihinya
yang bisa menyebabkan penyakit pada jiwanya, dan kematian adalah
musibah yang paling besar pada diri orang yang menimpanya berupa
kesedihan yang dia peroleh, maka diperbolehkan baginya tidak berhias (
karena kematian suami-penj) dan membebaskan jiwanya dalam menghilangkan
kesedihan dari musibahnya yang tidak melebihi tiga hari, dan lillahi al-hikmah al-balighah.
12. Larangan panggil memanggil[50] dengan gelar-gelar yang buruk
Termasuk
penyakit lisan yang bisa mendatangkan dosa, mengobarkan kemarahan dan
menyebabkan perpecahan diantara sesama sudara, yaitu, panggil-memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk, memberi gelar kepada orang lain dengan
gelar-gelar yang buruk lagi tercela, mereka saling mencela dengannya,
dan ditertawakan atasnya dari celaan tersebut, padanya ada larangan dari
Allah Maha Mulia diatas Ketinggian-Nya, Allah Ta’ala berfirman :
“Dan
janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” ( Al-Hujurat :11).
Dan seorang muslim berhak dengan keselamatan muslim yang lain dari lisan dan tangannya.
Abu Jubairah bin Adh-Dhahak radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata : Ayat ini diturunkan kepada Bani Salamah :
“Dan
janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”
Beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
kami dan tidaklah salah seorang dari kami kecuali dia mempunyai dua atau
tiga nama, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dengan
“Wahai fulan.” Maka para sahabat berkata : Apa itu wahai Rasulullah,
sesungguhnya dia akan marah dengan nama tersebut, maka turunlah ayat ini
: “Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” ( Al-Hujurat :11).[51]
Mayoritas
masyarakat sekarang pada saat ini banyak terjerumus kedalamnya, berupa
kelaliman dengan perkataan, berbuat dosa dengan lisan dan merusak lisan
tersebut. Dan berlepas diri dari orang yang menyakiti dengan lisannya
dan menahannya dari menjaga kehormatan kaum muslimin, agar mereka tidak
memperoleh keburukan, semoga Allah menjaga kita dan anda semua dari
kerusakan lisan dan kekhilafannya.
13. Disenangi mengadakan ishlah (perbaikan) antar sesama saudara
Tidak
dapat dielakkan lagi adanya beberapa perselisihan dan pertengkaran
diantara saudara, dari yang sudah barang tentu menyebabkan percekcokan
dan permusuhan antara mereka. Telah disepakati pada
masyarakat orang yang dijadikan oleh Allah sebagai perantara untuk
mengadakan perbaikan antara orang-orang yang saling memutuskan hubungan
dan orang-orang yang saling berselisih. Diriwayatkan dari Abu Darda’
radhiallahhu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Apakah kalian mau aku beritahukan dengan apa yang
lebih utama daripada derajat puasa, shalat dan shadaqah?” Para sahabat
menjawab : Iya.beliau bersabda : “(Mengadakan) kebaikan dzatul-bain
(antara sesama),[52] sesungguhnya kerusakan antara sesama adalah kebinasaan.”[53]
Dan
syariat yang suci sangat mengajurkan akan satunya kalimat, bersatunya
barisan,dan ketentraman hati, serta melarang dari perselisihan, saling
menjauhi dan bercerai-berai. Oleh karena itu dianjurkan mengadakan
perbaikan antara sesama manusia dengan kebohongan dan tidak dianggap
suatu yang dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Bukanlah seorang disebut pendusta jikalau memperbaiki antara manusia
maka dia akan mendatangkan kebaikan atau berkata yang baik.”[54]
Bahkan dia mendapatkan pahala atas usahanya dalam mengadakan perbaikan
antara sesama, dan mencabut (melepas) kedengkian dari hati.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Setiap ruas dari seseorang
padanya ada shadaqah, dan setiap hari yang terbit padanya matahari dan
dia berbuat adil antara dua orang padanya ada
shadaqah…al-hadits.” Pada riwayat yang lain : “dan setiap hari yang
terbit padanya matahari dan dia berbuat adil antara dua sesama manusia
ada shadaqah.”[55]
Dan Ulul albab
– kaum cerdik pandai – sepantasnya mereka menjadi pendahulu untuk
perbaikan sesama manusia, dan tidak sepantasnya mereka menjauhkan diri
darinya, berpaling dari jalan perbaikan setelah mengetahui besarnya
pahala yang terdapat padanya.
14. Keharaman mengungkit-ungkit pemberian
Pada
umumnya apa yang terjadi antara saudara adalah saling hadiah
menghadiahi dan saling memberi, yang satu memberi hadiah kepada yang
lainnya, dan yang satu memberi kepada yang lainnya. Perbuatan
ini merupakan kesempurnaan interaksi diantara sesama mereka. Dan
penyebab agar seantiasa langgeng dan trus berkelanjutan.
Akan
tetapi jiwa yang lemah akan meniti diatas sifat untuk sering
mengungkit-ungkit pemberian, baik karena didasari sifat kikir atau rasa
‘ujub. Al-Qurthubi mengatakan: “ Sifat mengungkit-ungkit pemberian,
biasanya terjadi akibat sifat kikir dan ‘ujub. Seorang yang kikir akan
merasa sangan berat pada dirinya untuk mengeluarkan sebuah pemberian,
walau pemberian tersebut sebenarnya hanyalah suatu yang tidak bernilai.
Sementara seseorang yang ‘ujub akan memamerkan dirinya dengan rasa
tinggi hati bahwa dialah yang memberi nikmat ini dengan hartanya kepada
sipenerima. Perbuatan mengungkit-ungkit pemberian adalah perbuatna yang
diharamkan didalam syariat Islam. Perbuatan tersebut adalah perbuatan
yang tercela dan menempatkan pelakunya pada bahaya yang sangat besar.
Ibnu
Muflih mengatakan : “ Diharamkan perbuatan mengungkit-ungkit pemberian
atas segala yang telah diberikan. Bahkan perbuatan tersebut tergolong
salah satu bagian dari dosa besar, dalam pernyataan Ahmad.[56]
Sejumlah
ayat dan hdits telah menetapkan hukum haram dari perbuatan
mengungkit-ungkit pemberian, seperti didalam firman Allah ta’ala:
“
Dan mereka yangmenginfakkan harta mereka dijalan Allah, kemudian tidak
mengikuti pemberian tersebut dengan sifat mengungkit-ungkit pemberian
ataukah untuk menyakiti sipenerima … al-ayat “ ( Al-Baqarah : 262 ).
Dan
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari hadits Abu Dzar
radhiallahu ‘anhu, beliau bersabda: “ Ada tiga golongan yang mana Allah
tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan melihat
kepada mereka dan Allah tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka
adzab yang pedih. Abu Dzar berkata: Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sebanyak tiga kali.”
Abu Dzar berkata : “ Celakalah dan merugilah mereka, siapakah mereka ini wahai Rasulullah ?”
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Seorang yang memanjangkan
kainnya melewati mata kaki, seorang yang selalu mengungkit-ungkit
pemberiannya, dan seseorang yang menginfakkan barangnya dengan sumpah
dusta “[57]
Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
hadits Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma, beliau bersabda: “ Tidak
akan masuk surga seorang yang selalu mengungkit-ungkit pemberiannya, dan
juga seorang yang durhaka dan seseorang yang kecanduan minum khamar “[58]
15. Menjaga rahasia dan tidak menyebarluaskannya
Dan
in termasuk amanah yang wajib untuk dijaga dan disembunyikan. Seseorang
yang menyebarluaskan rahasia tergolong seorang yang mengkhianati
amanah. Dan perbuatan tersebut salah satu dari sifat orang-ornag
munafik.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ Tanda seorang munafik ada tiga: Apabila dia berkata dia berdusta,
apabila dia berjanji maka dia menyalahinya dan apabila dia diserahi
amanah maka dia berkhianat. “[59]
Diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau ebrsabda: “ Apabila sesorang menceritakan suatu kaba kemudian dia
menengok kesamping maka yang disampaikannya adalah amanah “. Pada
lafazh riwayat Ahmad : “ Seseorang yang diceritakan sesuatu melihat si
pencerita menengok , maka cerita tersebut adalah amanah “[60]
Suatu
yang rahasia, wajib untuk disembunyikan dan tidak disampaikan kepada
semua kaum manusia atau disebarkan. Ini tergolong anjuran syariat dan
perhatian syara agar kaum manusia menjaga segala persoalan rahasia
mereka, dimana menengoknya seorang pembicara untuk memastikan tempat
tersebut tersembunyi, sederajat dengan perkataannya: Ini adalah sbeuah
rahasia maka sembunyikanlah rahasiaku ini.
Dan
juga diterangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas
radhiallahu ‘anhu beliau mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjumpaiku, disaat saya lagi bermain dengan dua
anak ekcil. Kemudian beliau mengucapkan salam kepada kami. Kemudian
beliau mengutusku untuk suatu keperluan sehingga saya terlambat
menjumpai ibuku. Ketika saya tiba, ibuku bertanya: Apa yang menghambatmu
?.
Saya mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu keperluan.
Ibuku bertanya: Apakah keperluan beliau tersebut?
Saya mengatakan: Keperluan beliau tersebut suatu yang rahasia.
Ibuku mengatakan: Janganlah engkau sekalipun menceritakan rahasia Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada siapapun juga.
Anas mengatakan: Demi Allah, seandainya saya menceritakan kepada seseorang perihal rahasia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut niscaya saya menceritakannya kepadamu, wahai Tsabit.
Pada lafazh riwayat Al-Bukhari: “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
sebuah rahasia kepadaku, dan tidaklah saya emngabarkan kepada
seorangpun perihal rahasia tersebut sepeninggal beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan Ummu Sulaim telah menanyakanya kepadaku, dan saya
tidak memberitahukannya kepadanya “[61]
16. Celaan kepada seseorang yang bermuka dua
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkan maksud dari seorang yang bermuka dua, didalam sabda beliau:
“ Engkau akan emndapatkan orang yang paling buruk disisi Allah pada
hari kiamat adalah seseorang yang bermuka dua. Yaitu seseorang yang
menjumpai suatu kaum denganwajah demikian lalu kaum lainnya dengan wajah
berbeda “[62]
Seseorang
yang bermuka dua, dikategorikan sebagai manusia yang paling buruk,
disebabkan keadaannya terseut adalah kepribadian seorang munafik. Karena
dia mencari muka dengan kebatilan dan kedustaaan dan menyisipkan
kerusakan ditengah-tengah kaum manusia.
An-Nawawi
emngatakan: “ Dia adalah seseorang yang mendatangi setiap pihak dengan
suatu yang mereka senangi. Dan menampakkan bahwa dirinya termasuk bagian
dari mereka dan menyalahi lawan mereka. Perbuataannya tersebut adalah
nifak yang sebenarnya.”
Beliau
lanjut mengatakan: “ Adapun yang melakukannya dnegna tujuan mengadakan
perdamaian antara kedua belah pihak maka perbuatan trsbeut suatu yang
terpuji. “
Selain
dari beliau mengatakan: “ Perbedaan antara keduanya, bahwa yang tercela
adalah seseorang yang membenarkan amalan suatu kelompok dan mencelanya
dihadapan kelompok lainnya. Dan setiap kelompok dicelanya dihadapan
kelompok lainnya. Sementara yang terpuji adalah seseorang yang daang
kepada masing-masing kelompok dengan ucapan yang penyiratkan perdamaian
kepada kelompok lainnya dan memintakan udzur masing-masing kelompok
tersebut dihadapan eklompok lainnya. Dan menyampaikan kepada kelompok
tersebut segala yang baik yang memungkinkan untuk disampakannya dan
menutupi segala yang buruk “[63]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar